Senyumnya masih sama ketika menyambutku, tulus dan hangat seperti biasanya. Meski guratan usia di wajahnya dan uban di rambutnya membuatnya tampak lebih tua daripada saat terakhir kali aku bertemu dengannya, wajahnya masih teduh. Inilah yang membuat kerinduan untuk pulang terus membuncah.
Dalam kepulangan kali ini, ada hal yang membuatku bahagia. Kini ibuku sudah mulai lancar mengaji meski dengan ilmu tajwid yang masih belum sempurna. Setiap hari seusai sholat maghrib hingga waktu sholat isya tiba, ibuku selalu mengaji dan aku berkesempatan untuk mendampinginya, mengoreksi bacaannya. “Sebenarnya setelah khatam Al-Quran pada waktu Ramadhan kemarin, Pak Sukri akan mengajari Ibu ilmu tajwid kemudian juga tafsir Al-Qur’an-nya, tapi Pak Sukri sekarang sibuk setelah menjadi relawan bencana alam dan pindah ke LSM lainnya, pelajaran ngajinya jadi mandeg*”. Begitu keluh ibuku tentang pelajaran mengaji rutinnya yang terhenti karena Pak Sukri, nama guru mengajinya, sibuk dengan berbagai aktivitas. Subhanallah..senang sekali melihat semangat ibuku untuk belajar Al-Qur’an dan hal ini juga melecut diriku untuk berusaha lebih rajin dan istiqomah mempelajari kalam-Nya.
Beliau sempat terisak untuk beberapa saat lamanya ketika aku pertama kali menyimak bacaan mengajinya seusai sholat shubuh ketika aku baru tiba di rumah. Aku tidak tahu pasti mengapa ia menangis, mungkin karena terharu bertemu aku yang sudah lebih dari 1,5 tahun lamanya tidak pulang, atau terharu karena sudah mulai bisa mengaji dengan lancar. Di sela isak tangisnya, aku mendengar kalimat lirih dari bibirnya, “kasihan bapak..”. Aku teringat almarhum bapakku, beliau memang belum sempat untuk belajar mengaji lagi sebelum ajalnya tiba. Inilah hal yang selalu membuat aku sedih jika teringat almarhum bapakku. Sedih pada diri sendiri karena sebagai seorang anak, aku belum merasa berbuat banyak, setidaknya untuk lebih sering mengingatkan dan mengajak belajar bapakku (semoga Allah menerima segala amal ibadahnya dan memberikan tempat terbaik di sisi-Nya). Aku paham hidayah memang menjadi hak prerogatif Allah, tapi diriku selalu merasa bersalah dan menyesal jika mengingat hal ini. Perasaan ini juga yang menjadi motivasi untuk terus belajar, terus membina silaturahim dengan ibu dan kakak-kakakku, untuk perlahan-lahan mengajak mereka untuk bersama-sama mempelajari dan mengamalkan Islam sebaik-baiknya.
Selain rutinitas baru seusai sholat maghrib, aku juga sempat berbincang-bincang dengan ibuku. Berbincang-bincang tentang banyak hal, tentang hidup. Dan dalam perbincangan dengan beliau kali ini, beliau kembali mengingatkanku tentang pentingnya totalitas, komitmen, konsistensi, dan pantang menyerah dalam hidup. Dari perbincangan ini juga, aku juga menjadi sadar bahwa beberapa sifat dan karakter dalam diriku turunan dari ibu dan almarhum bapakku. Memang sudah sejak lama dan sering kudengar peribahasa “air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga”, tapi baru kali ini aku menyadari betapa kuatnya nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya, meskipun mungkin itu hanya terjadi saat masa kecil si anak dan anak tersebut kemudian pergi merantau sekian lama.
Untuk kalian yang masih memiliki orang tua, ingat-ingatlah perkataan Rasulullah SAW ini :
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Aku bertanya, “Ya Nabiyullah, amal apakah yang paling dekat kepada surga?” Beliau SAW bersabda, “Shalat pada waktunya”. Aku bertanya lagi “Apa lagi ya Nabiyullah?” Beliau SAW bersabda berbakti kepada kedua orang tua”. Aku bertanya lagi “Apa lagi ya Nabiyullah?” Beliau SAW bersabda, “Berjihad di jalan Allah”. (H.R.Muslim juz 1, hal.89)
Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Seorang anak tidak bisa membalas (kebaikan) orang tuanya, kecuali jika ia mendapatkan orang tuanya sebagai budak, lalu ia membelinya dan memerdekakannya” (H.R.Muslim juz 2, hal.1148)
Dan masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang membahas keutamaan berbakti kepada kedua orang tua. Jangan ditunda-tunda, lakukan sekarang juga.
Dalam kepulangan kali ini, ada hal yang membuatku bahagia. Kini ibuku sudah mulai lancar mengaji meski dengan ilmu tajwid yang masih belum sempurna. Setiap hari seusai sholat maghrib hingga waktu sholat isya tiba, ibuku selalu mengaji dan aku berkesempatan untuk mendampinginya, mengoreksi bacaannya. “Sebenarnya setelah khatam Al-Quran pada waktu Ramadhan kemarin, Pak Sukri akan mengajari Ibu ilmu tajwid kemudian juga tafsir Al-Qur’an-nya, tapi Pak Sukri sekarang sibuk setelah menjadi relawan bencana alam dan pindah ke LSM lainnya, pelajaran ngajinya jadi mandeg*”. Begitu keluh ibuku tentang pelajaran mengaji rutinnya yang terhenti karena Pak Sukri, nama guru mengajinya, sibuk dengan berbagai aktivitas. Subhanallah..senang sekali melihat semangat ibuku untuk belajar Al-Qur’an dan hal ini juga melecut diriku untuk berusaha lebih rajin dan istiqomah mempelajari kalam-Nya.
Beliau sempat terisak untuk beberapa saat lamanya ketika aku pertama kali menyimak bacaan mengajinya seusai sholat shubuh ketika aku baru tiba di rumah. Aku tidak tahu pasti mengapa ia menangis, mungkin karena terharu bertemu aku yang sudah lebih dari 1,5 tahun lamanya tidak pulang, atau terharu karena sudah mulai bisa mengaji dengan lancar. Di sela isak tangisnya, aku mendengar kalimat lirih dari bibirnya, “kasihan bapak..”. Aku teringat almarhum bapakku, beliau memang belum sempat untuk belajar mengaji lagi sebelum ajalnya tiba. Inilah hal yang selalu membuat aku sedih jika teringat almarhum bapakku. Sedih pada diri sendiri karena sebagai seorang anak, aku belum merasa berbuat banyak, setidaknya untuk lebih sering mengingatkan dan mengajak belajar bapakku (semoga Allah menerima segala amal ibadahnya dan memberikan tempat terbaik di sisi-Nya). Aku paham hidayah memang menjadi hak prerogatif Allah, tapi diriku selalu merasa bersalah dan menyesal jika mengingat hal ini. Perasaan ini juga yang menjadi motivasi untuk terus belajar, terus membina silaturahim dengan ibu dan kakak-kakakku, untuk perlahan-lahan mengajak mereka untuk bersama-sama mempelajari dan mengamalkan Islam sebaik-baiknya.
Selain rutinitas baru seusai sholat maghrib, aku juga sempat berbincang-bincang dengan ibuku. Berbincang-bincang tentang banyak hal, tentang hidup. Dan dalam perbincangan dengan beliau kali ini, beliau kembali mengingatkanku tentang pentingnya totalitas, komitmen, konsistensi, dan pantang menyerah dalam hidup. Dari perbincangan ini juga, aku juga menjadi sadar bahwa beberapa sifat dan karakter dalam diriku turunan dari ibu dan almarhum bapakku. Memang sudah sejak lama dan sering kudengar peribahasa “air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga”, tapi baru kali ini aku menyadari betapa kuatnya nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya, meskipun mungkin itu hanya terjadi saat masa kecil si anak dan anak tersebut kemudian pergi merantau sekian lama.
Untuk kalian yang masih memiliki orang tua, ingat-ingatlah perkataan Rasulullah SAW ini :
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Aku bertanya, “Ya Nabiyullah, amal apakah yang paling dekat kepada surga?” Beliau SAW bersabda, “Shalat pada waktunya”. Aku bertanya lagi “Apa lagi ya Nabiyullah?” Beliau SAW bersabda berbakti kepada kedua orang tua”. Aku bertanya lagi “Apa lagi ya Nabiyullah?” Beliau SAW bersabda, “Berjihad di jalan Allah”. (H.R.Muslim juz 1, hal.89)
Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Seorang anak tidak bisa membalas (kebaikan) orang tuanya, kecuali jika ia mendapatkan orang tuanya sebagai budak, lalu ia membelinya dan memerdekakannya” (H.R.Muslim juz 2, hal.1148)
Dan masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang membahas keutamaan berbakti kepada kedua orang tua. Jangan ditunda-tunda, lakukan sekarang juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar